Entri yang Diunggulkan

[Announcement] Pembukaan Cabang di Pahoman, Kec. Enggal, Bandar Lampung

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh Insya Allah mulai hari Senin, tanggal 29 Agustus 2016, Rumah Balita Cendekia (RBC) men...

Kamis, 27 September 2018

FITRAH


Ayah, Ibu…

Setiap anak yang diturunkan ke dunia
lahir dalam keadaan fitrah bukan?

“Kullu mauluudin yuladu alal fitrah.
Fa abaawahu.”
Setiap anak lahir dengan fitrah,
bergantung orangtuanya bagaimana ia dibentuk.

Karena anak lahir dengan fitrah,
bukankah berarti tak satupun anak ketika lahir
berniat menghancurkan masa depannya?

Tak ada satupun bayi ketika lahir berniat di kepalanya
“Ah jika besar nanti aku mau kena narkoba” ;
“Ah jika besar nanti aku akan hobi tawuran atau kebut-kebutan”.
Atau pernahkah ia berkata
“jika besar nanti aku akan mencuri uang orangtua.”
“Ah jika besar nanti aku mau membangkang pada ayah dan ibu”.
Adakah anak yang berniat begitu Ayah?
Bukankah berarti setiap anak yang diturunkan Allah ke dunia
Justru pada awalnya cenderung pada kebaikan?

Tetapi, mengapa, sebagian anak-anak ini
Yang lahir cantik, rupawan, lucu dan menggemaskan
Setelah ia beranjak remaja dan dewasa
Justru menjadi beban keluarga
dan menjadi masalah untuk lingkungannya?
Ada apa ini…….

Ayah, Ibu….
Karena anak lahir dengan fitrah
Sebagian masalah anak, justru orangtualah penyebabnya.
Periksalah ternyata sebagian anak justru dijatuhkan harga dirinya
di rumah, bukan di luar rumah

Sebagian kita mungkin pernah memukul tubuhnya,
seolah tubuh anak adalah barang pelampiasan amarah kita
sebagian kita mungkin pernah menampar pipinya,
seolah ia tempat empuk bagi telapak tangan kita
sebagian kita mungkin pernah membentaknya
sambil berteriak dalam hati: akulah yang bekuasa atas dirimu!

Atau mungkin… kita tak pernah melakukan semua itu?
Tapi tahukah ayah ibu,
Sebagian anak memang tak pernah dipukul
Tak pernah dicubit, tak pernah dibentak,
Tapi jarang sekali anak yang lolos untuk tidak disalahkan orangtua
Mulai dari buka mata di pagi hari
Sampai kembali menutup mata di sore hari

Ayah, Ibu….
Karena sebagian anak jatuh harga dirinya di rumah
Tanpa kita sadari, ada sebagian anak yang tak betah
Berada di samping orangtua
Panas hatinya
jika mendengar ‘ceramah-ceramah’ orangtuanya
dan overdosis nasihat yang ia terima
lalu kapan kita mendengarkan anak, ayah, ibu?

Ketika seorang kakak hendak mengambil mainan miliknya
Yang diambil adiknya,
Kita… dengan kekuatan kehakiman yang kita miliki
Dengan gagah berkata: kakak…. Ngalah dong sama adik!

Lihatlah pertunjukkan ini ayah…
Lihatlah ketidakadilan ternyata di mulai dari rumah
Lihatlah… kebenaran ternyata ditentukan oleh faktor usia
Lalu kita berdalil “adik nya kan masih kecil…”
Dalam hati si kakak berkata
“sampai kapan adik akan dibela?”
“Kapankah aku meminta lebih dulu dilahirkan ke dunia?”
“sungguh tak enak jadi seorang kakak”

Karena ketidakadilan di mulai dari rumah
Di tempat lain, sebagian adik pun berkata hal yang sama
“sungguh aku pun tak suka jadi seorang adik”
“Ketika ayah dan ibu tak ada aku sering dikerjai kakak semuanya”

Ayah ibu
Karena sebagian anak dijatuhkan harga dirinya di rumah
Sebagian anak akhirnya tak betah berada di rumah
Rumah baginya hanyalah tempat tidur sementara
Ia lalu mencari harga diri, berkelana mencari surga
Mencari orang-orang yang akan menghargai dirinya

Wahh… ternyata teman-teman ganknya bisa menghargainya
Lalu dalam hati ia berkata
Hm… ternyata aku dihargai jika aku pamer perkasa
aku ternyata perkasa jika menghisap ganja
aku gembira jika bisa menyusahkan siapa saja…..

Apakah itu yang ingin kita inginkan ayah, ibu?
Jika tidak, hormatilah jiwa anak-anak kita
Bukan sekadar uang, jajanan, mainan dan sekolah mahal semata
Itu semua penting
Tapi perkataan dan perlakuan penuh cinta dari Anda
Adalah warisan terindah untuk masa depan mereka

Sumber: Buku super best seller “Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih” Penerbit Khazanah Intelektual, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

http://abahihsan.com/fitrah

Agar Mandiri, Anak Butuh Pendampingan

   

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

http://abahihsan.com/agar-mandiri-anak-butuh-pendampingan


Mandiri itu perlu latihan. Tidak tetiba menuntut anak “sadar!” tanpa ada pembinaan. Banyak orangtua mengatakan pada saya “abahihsan gimana caranya agar anak saya melakukan rutinitas harian tanpa harus “disuruh” atau diingatkan terus?

Atau seperti contoh pertanyaan berikut:

“Abahihsan mau tanya, Kirana 8th perempuan, suka bohong, misalnya belum sikat gigi, bilang sudah. Belum wudhlu, bilang sudah. Belum sholat bilang sudah. Kisaran bohongnya di 3 hal itu abah, apa yang salah aplikasinya ya? Bagaimana solusinya ya abah?”

Memuntut anak sadar dengan sendirinya tanpa pembinaan dan latihan itu seperti menyuruh anak berenang nyebrang sungai yang dalam, padahal Anda sendiri tak pernah mengajarkan atau melatih mereka berenang. Seperti orangtua yang nuntut deviden padahal gak pernah memberi saham.

Semua anak, agar TERBIASA melakukan rutinitas harian itu butuh PEMBIASAAN. Pembiasaan itu membutuh bimbingan, pendampingan, butuh “investasi” waktu orangtua! Pembiasaan yang berulang akan menumbuhkan habbit dan kesadaran.

Karena eh karena parents jika Anda tidak menemani, tidak mendampingi, itu berarti Anda hanya pake remote (perintah lisan). Semua anak melakukan rutinisas itu harusnya didampingi, ditemani, diawasi.

Bahkan dalam perkara sholat sekalipun. Bukan disuruh doang pake mulut. Ketika anak dilatih sholat usia 7 tahun sampai 10 tahun, sesuai SOP Rasulullah, anak seharusnya tidak boleh dibiarkan sholat sendirian. Harus ditemani, didampingi, bahkan ketika ibunya haidh sekalipun. Bukan berarti ibunya yang haidh harus sholat, tidak. Tapi ibunya menunggu, mendampingi anak sholat, memeriksa gerakannya, bacaannya dll. Ini berarti orangtua menganggap perkara besar sampai-sampai aktivitas masak, nyuci, atau apapun dihentikkan saat anak sholat, menemani mereka.

Abah sampe kapan harus dampingi? Bukannya anak jadi tidak mandiri klo didampingi terus?

Mandiri itu gak tiba tiba bro sistah! Harus latihan. Agar anak sholat dengan baik itu tidak tiba-tiba nunggu anak sadar nduk. Ada tarhib, pembiasaan, selain targhib memotivasi. Nah pembiasaan itu membutuhkan pendampingan.

Dari balita sampe usia kira-kira 10 tahun normal didampingi. Setelah 10 barulah gak ada pendampingan pun gpp.

Demikian juga Bagaimana mungkin menuntut kesadaran doang (dibahas tuntas di PDA) untuk anak disiplin dengan sikat gigi mandi dll kalau hanya menggunakan perintah, perintah dan perintah. Kalau saya, temani semua anak, ke kamar mandi dll. Jadikan rutinitas menyenangkan… sambil becanda sikat gigi bareng dll. @abahihsan

Rabu, 26 April 2017

Bersiap 1821 Bersama Ananda Tersayang

Delapan Belas Dua Puluh Satu


Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

Fasilitator Pelatihan Orangtua di 25 Propinsi 7 Negara | www.auladi.net


Penulis Buku Best Seller "Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih"

“Anak saya rusak gara-gara terpengaruh temannya!”. “Anak saya kena narkoba gara-gara terpengaruh si Aziz temannya!”. “Anak saya jadi membangkang gara-gara sejak bergaul dengan si Anu!” Pernah dengar perkataan orangtua seperti ini? Orangtua yang menyalahkan lingkungan pergaulan atas perilaku anaknya yang bermasalah?


Ayah Ibu, ketahuilah anak-anak bermasalah seperti itu memang bermasalah karena pengaruh pergaulan atau temannya. Tetapi itu sebenarnya hanya akibat, bukan penyebab utama. Lalu siapa penyebab utamanya? Ya orangtualah!


Anak-anak itu sejak 0 tahun lebih duluan kenal orangtua atau temannya? Orangtuanya kan? Lebih lama hidup dengan orangtua atau temannya? Orangtuanya kan?! Jadi karena orangtua lebih duluan kenal anak, lebih lama hidup dengan anak, daripada dengan teman-temannya, maka menurut Anda pengaruh siapa yang seharusnya lebih besar? Orangtua atau teman? Tentu orangtua bukan?


Jadi, jika ada anak lebih terpengaruh teman bukan terpengaruh orangtua, tandanya apa? Tandanya orangtua tak memberikan pengaruh. Mending jika pengaruh temannya positif, bagaimana jika pengaruh temannya negatif?


Musibah.


Ini tidak berarti anak yang lebih terpegaruh teman, orangtuanya tidak mempegaruhi. Saya yakin sebagian besar orangtua yang anak bermasalah di dunia sudah mencoba mempengaruhi anak. Tapi pengaruhnya tidak masuk! Kenapa tidak masuk? Karena sebagian orangtua memberikan pengaruh pada anak, pendekatannya tidak tepat!


Seperti gelas yang terus diisi air terus menerus. Jika isi air tidak pernah dikeluarkan apa yang akan terjadi dengan gelas, jika gelas itu terus diisi air? Tumpah kan? Jika tumpah artinya air ini masuk tidak ke dalam gelas? Karena gelasannya kepenuhan. Bayangkan jika gelas itu anak dan air itu adalah “pesan-pesan” kebaikan orangtua.


Jadi lingkungan pergaulan itu sebenarna tak berpengaruh ya terhadap perkembangan anak? Saya tidak mengatakan itu! Pengaruah lingkungan pergaulan anak menjadi kecil atau besar bergantung seberapa “masuk” pengaruh orangtua yang diterima anak.


Andaikan isi gelas itu 100% maka tinggal dihitung saja, jika pengaruh orangtua lebih banyak yang masuk maka otomatis pengaruh lingkungan pergaulan akan kecil. Tetapi sebaliknya, jika pengaruh orangtua lebih sedikit maka otomatis pengaruh lingkungan pergaulan anak akan memiliki pengaruh lebih besar.

Bagaimana agar anak lebih terpengaruh orangtua bukan terpengaruh oranglain? Apalagi lingkungan pergaulan yang buruk?


Ada banyak yang harus dilakukan orangtua di rumah. Saya menjelaskan panjang lebar dalam kelas-kelas pelatihan orangtua yang saya selenggarakan di banyak perusahaan dan sekolah. Tapi saya di sini ingin mengungkapkan salah satu saja: berikan waktu anda untuk anak!


Ada banyak waktu baik untuk kita bisa mempengaruhi anak kita, sebelum anak kita dipengaruhi orang lain. Waktu terbaik pertama adalah saat di pagi setelah subuh sampai menjelang berangkat kerja bisa jadi adalah waktu terbaik untuk mereka, terutama untuk para ayah yang bekerja. Jika di siang hari jelas orangtua tidak bisa mendampingi karena tengah di kantor atau menjalankan tugas kerja di lapangan. Di sore hari bisa jadi malah menjadi sisa: tenaga sisa, waktu sisa! Apakah yakin bisa optimal? (tulisan ini sudah dijelaskan panjang lebar di tulisan saya yang lain dengan judul “Quality Time di Pagi Hari”).


Waktu di pagi hari adalah waktu yang sebaiknya kita berikan untuk anak kita setiap hari, tanpa harus menunggu akhir pekan saat hari libur tiba. Jika hanya saat ibur kita 2 hari kita berikan dan kerja 5 hari tidak, jangan-jangan anak kita 5 hari terpengaruh orang lain, hanya 2 hari terpengaruh kita? Rugi dong! Mending jika yang mempengaruhinya adalah pengaruh baik dari sekolah atau teman pergaulan yang baik, lah kalau tidak?


Waktu terbaik kedua adalah antara jam 18 sampai jam 21 malam. Karena itu saya berikan judul tulisan ini adalah DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU.


Mengapa DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU?


Pertama, waktu itu adalah waktu dimana sebagian besar anggota keluarga biasanya berkumpul. Saat di siang hari, Salah satu orangtua (ayah atau ibu) atau mungkin keduanya sedangkan bekerja. Atau anak-anak juga sekolah untuk yang sudah sekolah. Sore hari? Biasanya anak-anak masih merasa kelelahan, demikian juga orangtua. Maka waktu antara magrib sampai menjelang tidur adalah menjadi pilihan.


Kedua, saat bangun tidur dan hendak tidur, adalah waktu dimana gelombang otak anak dalam keadaan santai. Orang-orang yang mengkaji neurologhy biasanya menyebut dengan sebutan gelombang alpha. Saat mau tidur dan bangun tidur, biasanya tubuh anak dalam keadaan tenang, pikiran pun mengikuti keadaan tubuhnya, tenang. Maka nilai-nilai orangtua yang akan ditembakkan pada anak saat momen ini bisa menjadi salah satu momen terbaik untuk mempengaruhi hidup anak.


Ketiga, sebenarnya orangtua kita jaman dulu, sebelum tahun 90-an masuk tv swasta ke rumah-rumah, jauh sebelum ada internet, tanpa sadar, sudah melakukan praktik ini. Betapa tidak, semua anggota keluarga setelah magrib benar-benar kumpul bersama, melakukan kegiatan yang sebagian besar dapat mengakrabkan mereka. Lah bagaimana lagi, hiburan "penganggu" semacam tv, internet, hape belum ada. Maka, mereka dapat menikmati secara optimal nikmatnya berkeluarga. Anak-anak pun terurus, "kompetitor" selain orangtua untuk memberikan pengaruh pada anak sedikit, orangtua memiliki peluang lebih banyak pula untuku menyediakan waktu. Maka koplah! Sebagian besar anak-anak yang hidup di jaman itu, seadanya dibesarkan tanpa ilmu "parenting" pun insya Allah tidak ada masalah. Tapi jaman sudah berbeda bukan?


Di rumah saya, sekeluarga makan malam itu dibiasakan sebelum magrib, jika pun setelah magrib, makan malam tidak boleh hanya dilewatkan sebagai rutinitas makan tapi juga tempat bercengkram: bercerita atau ngobrol. Maka makan malam pun jika mau, bisa menjadi bagian DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU. Waktu dimana ada banyak kelapangan antaranggota keluarga saling berinteraksi dan mempengaruhi.


Setelah sholat magrib yang wajib berjamaah (anak laki-laki di masjid) dan anak perempuan di rumah. Selama 2-3 jam selanjutnya ada banyak kegiatan BERSAMA yang dapat dilakukan. Yang menjadi SOP (standar) wajib pertama adalah tadabbur Qur’an. S1 wajib membimbing S2 (lima anak saya semuanya berawal dari huruf “s” jadi kami sering menyingkat s dengan urutan angka) . S2 membimbing S3. S4 dan S5 belum diberikan kesempatan belajar. Sedangkan S1 dibimbing ayahnya atau ibunya.


Orang-orang mungkin menyebutnya dengan sebutan MAGRIB MENGAJI. Untuk soal ini kami bersikukuh harus orangtuanya yang membimbing, bukan “outsourcing” kepada yang lain. Bahwa anak-anak juga belajar di sekolahnya, itu kami anggap sebagian bantuan penting.


Jika masih ada waktu menjelang isya, kami bebaskan anak-anak untuk bermain dengan saudaranya. (kecuali anak yang besar yang sibuk yang membuat saya sedih “karena dia terus berkutat dengan buku-buku latihan soalnya, menjelang ujian).


Sop wajib kedua sepanjang DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU adalah bercerita, mendongeng atau berkisah. Biasanya dilakukan setelah sholat Isya agar waktunya panjang. Bisa ngarang sendiri, bisa baca dari buku-buku yang ribuan buku sudah tersedia di rak-rak yang memenuhi rumah, bisa dari internet, bisa dari cerita yang didapatkan waktu kita kecil. Kadang mempelajari isi dan makna ayat dibalik ayat yang anak-anak baca (tinggal buka tafsirnya yang sudah tersedia).


Kegiatan ketiga, tambahan selama DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU adalah pilihan dari ngobrol, diskusi dan cerita soal kegiatan-kegiatan mereka dari pagi sampai sore yang santai atau bermain dengan anak. Yang bikin senyum, yang bikin ketawa. Anak-anak wajib cerita 1 cerita/kegiatan agar jadi pembiasaan untuk komunikasi terbuka (curhat) atau memilih permainan dengan orangtua.


Kegiatan keempat sepanjang DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU adalah MENGERJAKAN TUGAS TERAKHIR. Dalam rangka mengembangkan “respect and responsibility” di rumah sejak usia 7 tahun anak-anak saya wajib dilatih mengembangkan 12 kompetensi sederhana di rumah yang akan berguna untuk dirinya sendiri kelak di masa depan. Diantara 12 kompetensi itu salah satunya adalah terampil terlibat dalam kegiatan rumah tangga. Hasil “syuro” anak-anak sendiri yang saya ingat ini tugas mereka:

S1: membereskan meja makan, membereskan sepatu/sandal di luar rumah, mencuci piring sore Jum’at-Minggu

S2: membereskan mainan, mengunci pagar dan pintu depan, mematikan lampu-lampu, mencuci piring sore Selasa-Kamis

S3: membereskan buku-buku, menyiapkan air putih untuk setiap kamar (agar tak perlu ke dapur jika terbangun tengah malam kehausan).


Membangun kemandirian dan tanggung jawab tidak dapat dilakukan setahun dua tahun apalagi sehari dua hari. Ini membutuhkan waktu tidak sebentar.


Maka mumpung mereka masih hidup dengan saya, hadir di dekat saya, saya harus membimbing mereka untuk setidaknya bertanggung jawab setidaknya pada dirinya sendiri. Syukur-syukur kepada orang lain. Jika anak sudah bertanggung jawab pada dirinya sendiri, setidaknya jika tidak bermanfaat untuk orang lain, saya berharap anak saya tidak menyusahkan hidup orang lain. Semoga.


Meski memiliki asisten rumah tangga, tidak menghalangi saya untuk melatih anak-anak saya melakukannya. Saya tidak mau anak-anak saya "dilemahkan" hanya gara-gara kehadiran asisten rumah tangga. Bahkan di rumah saya, anak-anak "diharamkan" meminta bantuan asisten rumah tangga untuk hampir semua urusan sepanjang mereka dapat melakukannya sendiri. Saya sering bilang "Bibi sama Mang supir kerja sama Abah Umi, digaji sama Abah Umi, bukan sama kalian. Maka kalian tak berhak untuk memerintah Bibi dan Mang." Mereka diperbolehkan meminta bantuan dengan syarat: pekerjaan tidak bisa mereka lakukan sendiri, meminya izin abah ummi, meminta dengan sopan "boleh minta tolong?"


Jadi, jika disingkat, kegiatan DEPALAN BELAS DUA PULUH SATU itu hanya ada tiga: BELAJAR-MAIN-NGOBROL alias BMN (termasuk bagian ngobrol adalah bercerita).


Satu hambatan harus disingkirkan agar pengaruh kita benar-benar serius masuk menjadi fikroh anak yaitu kompetitor kita di rumah yang jaman dulu orangtua kita tidak menghadapinya: gadget dan segala jenis barang elektronik.

Bukti keseriusan, pada saat DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU, terapkan no gadget (no bbm, no facebook, no intetnet) no tv! Turn off all that stuff! Boleh buka barang itu setelah Lewat DELAPAN BELAS DUA PULUH SATU yaitu ketika anak-anak sudah tidur. Berani?!

Minggu, 28 Agustus 2016

[Announcement] Pembukaan Cabang di Pahoman, Kec. Enggal, Bandar Lampung

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Insya Allah mulai hari Senin, tanggal 29 Agustus 2016, Rumah Balita Cendekia (RBC) mengoperasikan cabang RBC di daerah Pahoman.

Alamat
Jl. Way Sekampung no. 59, Kelurahan Pahoman, Kec. Enggal, Kota Bandar Lampung

Jadwal operasional
Senin - Jum'at, pk. 07.00 s/d 17.00

Kontak
Bunda Riri Heryani: 081373020950

Kamis, 25 Agustus 2016

Ketika Bayi atau Balita Kita Menangis


Menangis bagi bayi dan balita adalah ungkapan bentuk protes atas ketidaknyamanan yang timbul dari faktor pengganggu dalam diri ataupun dari luar.

Menurut Abah Ihsan Ibnu Bukhari, pimpinan Auladi Parenting School, di salah satu sesi pelatihan PDA (Pelatihan Disiplin Anak) di Bandar Lampung beberapa tahun yang lalu, ada beberapa penyebab normal bayi dan balita menangis. Diantaranya adalah
  1. Lapar dan haus
  2. Kepanasan dan kedinginan
  3. Merasa sakit pada tubuh bagian luar atau dalam
  4. Buang air kecil atau besar
  5. Mengantuk
  6. dll
JIka faktor pengganggu itu berhasil dihilangkan, maka bayi dan balita semerta-merta akan berhenti menangis.

Namun, apa yang terjadi apabila bayi dan balita menangis merengek bukan karena faktor di atas melainkan karena "UNJUK RASA"?

Ayah Ibu yang budiman,
Mungkin ada beberapa diantara kita yang pernah menjadi aktivis ketika masih berusia pelajar dan mahasiswa, dan pernah melakukan demonstrasi atau unjuk rasa kepada pemerintah yang berwenang melakukan pengabulan atas tuntutan rakyat. Nah, seperti itulah yang dilakukan oleh bayi dan balita kita ketika mereka menginginkan sesuatu namun merasa dipersulit atau dilarang oleh orang tua.

Ketika kita sedang jalan-jalan ke mini market kemudian anak kita meminta, misalnya permen, namun kita melarangnya atau tidak memperbolehkannya untuk jajan permen, maka usaha UNJUK RASA pertama yang ia lakukan adalah merengek. Jika si anak merasa tidak berhasil, maka ia mulai mengembangkan metode UNJUK RASA dengan mulai menangis. Bagi anak yang terlatih untuk mengembangkan metode, mereka biasanya akan mulai memanipulasi orang tua agar merasa malu dengan sesama pengunjung mini market dengan cara berteriak, mengacak-acak, berguling-guling, dan beragam usaha Happening Art UNJUK RASA lainnya.

Bagaimana cara meredam unjuk rasa anak kita ketika dirasa sudah sangat mengganggu?

Menurut Abah Ihsan Ibnu Bukhari, kita sebagai orang tua wajib mendengarkan unjuk rasa mereka, namun harus tetap tegas untuk mengatakan tidak jika memang tidak diperbolehkan untuk jajan. Jika kita berubah pendapat, anak akan mendapatkan celah untuk mengulangi UNJUK RASA mereka di kesempatan lain dengan metode yang lebih berkembang.

Menangis merupakan cara yang termudah untuk "menggetarkan hati" orang tua untuk membuat orang tua mengabulkan keinginan anak. Jika anak merasa dengan menangis maka keinginannya akan dikabulkan, maka anak akan membiasakan diri untuk menangis. Namun jika tidak berhasil, maka anak akan menggunakan cara lain seperti mengacak, melempar, berguling, dan lainnya.

Ayah Ibu yang baik,
Semoga dengan sedikit tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi kita semua, para orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan baik.

*Ditulis oleh Muhtar Gani

Selasa, 02 Agustus 2016

Membentuk Karakter Anak

Sering kita beranggapan ketika anak masih berusia balita itu belum dapat diatur dan belum bisa mengikuti peraturan. Dan sering kali kita melihat para orang tua membawa balita bertamu atau memenuhi undangan suatu acara. Kemudian si anak berlari-lari di dalam rumah, naik meja, mengambil makanan yang hanya digigit sedikit kemudian dikembalikan lagi ke wadahnya, makan dengan tangan kiri, minum sambil berdiri, atau perilaku tidak sopan lainnya. Dan pada akhirnya kita mendengar ucapan tanpa sengaja dari kita atau orang tuanya, "Biarkan saja. Namanya juga anak-anak.”

Lalu kapankah kita akan mengajarkan akhlak baik kepada anak kita? Apakah harus tunggu masuk SD, SMP, SMA, atau nanti juga dia akan tahu mana yg baik dan tidak?

Ayah bunda yang kami cintai, menurut pakar pendidikan pengasuhan Irwan Rinaldi, dasar pembentukan karakter manusia untuk seumur hidupnya terletak di usia 0-10 tahun. Jadi, mungkin wajar jika kita pernah mendengar ada sebuah negara yg mensyaratkan pendidik anak usia dini di pendidikan prasekolah minimal harus lulusan strata 1 yang lebih memahami seluk beluk pendidikan balita. Karena usia balita adalah masa emas (golden age) yang tidak akan berulang.

Sedangkan di lingkungan kita, anak usia balita diasuh oleh asisten rumah tangga lulusan SD, SMP, atau bahkan tidak terdidik. Bayangkan jika masa-masa emas anak diisi oleh orang yang tidak memahami pendidikan balita, atau bahkan orang yang sehari-harinya mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sehingga tidak fokus dalam mendidik anak.

Ayah bunda yang baik dan membaikkan, sholih dan sholihah... .
Rebut masa emas anak kita, masa pembentukan karakter seumur hidup anak kita, karena di tangan mereka negeri yang subur ini akan diwariskan. Karena jika kita saksikan akhlak remaja saat ini, sungguh menyeramkan dan bahkan diluar logika manusia. Banyak sekali kasus kejahatan remaja kekinian yang tidak perlu kami sampaikan di laman ini.

Kalau ingin kita tarik ingatan kita sedikit ke belakang, remaja saat ini lahir di era milenium 2000 dimana arus modernisasi dan perbaikan kualitas ekonomi rumah tangga menyapa masyarakat bahkan para orang tua. Anak dikatakan gaptek jika tidak bisa main ponsel. Bahkan saat ini sudah biasa kita dengar atau bahkan kita melihat anak usia balita (TK) sdh dibelikan ponsel pintar dengan alasan biar tidak gagap teknologi.

Ayah bunda yg tercinta....
Tidak ada satupun anak yg lahir ke dunia ini untuk menjadi penjahat. Peran kita sebagai orang tualah yang menentukan baik buruk karakter anak. Tidak bijak rasanya jika ketikaketika anak berperilaku buruk, kita mulai menyalahkan temannya, lingkungannya, dan tontonannya, tanpa ada usaha untuk mendidik diri dan anak kita agar lebih dewasa.

Ayah bunda yang mulia...
Tidak ada kata terlambat. Mari peluk erat anak kita
Berikan stimulasi fisik dan psikis yang terbaik diusia pembentukan karakter anak agar menjadi generasi terbaik.

Jadikan diri kita baik terlebih dahulu sebelum menuntut anak untuk menjadi baik

Semangat meraih mimpi bersama anak kita.


*ditulis oleh Heryani Ismail